Wed, Mar 24, 2010
Muhammad Ar-Rasul di Tha’if
Sepeninggal Abu Thalib, gangguan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saaw semakin bertambah ganas. Ketika beliau merasakan gangguan kaum musyrikin Quraisy bertambah hebat dan tetap menolak serta menjauhi agama Islam, beliau berpikir untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh dukungan penduduk setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk agama Islam. Dengan harapan itu, Muhammad saaw sang Rasul bersama Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau saaw, pergi ke Tha’if.
Banyak tokoh Quraisy membangun tempat peristirahatan di sana. Kabilah terbesar di Tha’if adalah Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan fisik dan ekonomi yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah saaw menemui pemimpin Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara.
Rasulullah saaw menyampaikan maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk memeluk Islam dan tidak menyembah selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka sungguh di luar harapan Nabi Muhammad saaw.
Salah satu dari mereka berkata, “Apakah Allah tidak dapat memperoleh seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan, dan kami merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Buktiny dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh berbeda dengan ajaran yang kalian tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang selalu penuh dengan derita. Jels kami menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan menimbulkan malapetaka bagi penduduk kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, berkata Muhammad Rasulullah saaw, “Bila memang demikian, kami pun tidak memaksa. Maaf kalau telah mengganggu kalian. Kami mohon diri.”
Berkata mereka, “Pergilah kalian cepat-cepat dari sini! Sebelum kau sebarkan bencana besar bagi penduduk di sini. Oh ya, kedatangan kalian ke sini tak bisa kami diamkan begitu saja. Mau tak mau kami harus melaporkan hal ini kepada pemimpin Bani Quraisy di Makkah sebagai mitra kami. Kami tidak ingin berkhianat kepada mereka.”
Maka Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani Tsaqif itu. Akan tetapi, para pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka berdua pergi begitu saja. Di luar rumah para pemimpin Bani Tsaqif, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dihadang oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang tampaknya tidak ramah. Bahkan di antara kelompok itu ada beberapa anak kecil. Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok penduduk itu pun melempari Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah dengan batu. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah saaw sambil pergi dari tempat itu. Mereka berdua terluka akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if, Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon sambil membersihkan luka-luka mereka.
Sesudah agak tenang, Rasulullah mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepadaMu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapengasih Mahapenyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaanMu kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali dengan Engkau.”
Allah mengutus Jibril untuk menghampiri beliau saaw. Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota itu.”
Rasulullah saaw terkejut dengan hal ini, lalu bersabda, “Walau pun orang-orang ini tidak menerima ajaran Islam, aku harap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.” Demikianlah kelembutan hati Rasulullah saaw. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah dan penuh kelembutan dan kasih-sayang. Maka betapa kejinya orang-orang yang menghina manusia mulya ini. Betapa jahatnya orang-orang yang menyakiti beliau. Akan tetapi manusia di zaman ini begitu mudah menyakiti perasaan beliau dengan meninggalkan ajaran beliau saaw. Tidak tahukah mereka, bahwa setiap hari amal-amal mereka dihadapkan kepada Rasulullah? Jika amal itu baik, maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka beliau dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang itu. Adakah pemimpin yang selalu memikirkan ummatnya dari sejak di dunia hingga di kehidupan berikutnya selain beliau saaw?
Tak jauh dari tempat istirahat Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah, terdapat sebuah kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah. Kebetulan dua orang anak ‘Utbah berada di situ. Melihat keadaan Rasulullah saaw dan Zaid, mereka menyuruh budak mereka, ‘Addas, yang beragama Nashrani untuk membawakan buah anggur dari kebun itu.
Pelayan itu segera menghampiri Rasulullah saaw dan berkata, “Makanlah anggur ini wahai tuan-tuan. Semoga dapat melepaskan dahaga kalian.” Kemudian Rasulullah saaw mengambil anggur itu sambil mengucapkan, “Bismillah.”
Addas, demi mendengar ucapan Rasulullah saaw, merasa kagum dan berkata, “Sungguh, kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk daerah ini.”
Rasulullah saaw bertanya, “Dari negara mana engkau dan apa agamamu?” ‘Addas menjawab, “Aku seorang penganut Nashrani, aku berasal dari Niniwe.”
Rasulullah saaw berkata, “Oh, dusun tempat seorang hamba Allah yang shalih, Yunus bin Matta.”
Addas bertanya penuh kekaguman, “Dari manakah Anda mengenal Yunus bin Matta?” Rasulullah saaw menjawab, “Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku pun seorang nabi.”
Dengan perasaan gembira bercampur haru, Addas memeluk Rasulullah dan menciumi kening, tangan dan kaki Rasulullah saaw.
Setelah merasa cukup beristirahat, Rasulullah saaw dan Zaid bin Haritsah beranjak pulang ke Makkah.
Yunus bin Matta adalah seorang Nabi dari Niniwe, terkadang disebut juga sebagai Dzun Nun. Penduduk Niniwe begitu ingkar dan menolak ajaran yang dibawa beliau as. Lalu beliau pergi dari negeri itu dengan menggunakan perahu. Akan tetapi di tengah laut beliau terpaksa di buang ke laut dan kemudian di makan ikan. Beliau tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Kemudian beliau dimuntahkan ikan itu ke tepi pantai dekat Niniwe. Penduduk Niniwe menyambut kedatangan beliau yang ternyata penduduk Niniwe telah bertobat dan menerima ajaran yang beliau bawa. Kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya` ayat 87-88 dan Ash-Shaffat ayat 139-148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar