Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia, agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Sebab, Allah SWT telah berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw.—yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi saw.—sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian kenyataannya, maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw. Demikian juga dalam firman Allah SWT berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya dalam diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).
Ayat di atas juga bermakna umum; tidak membatasi bahwa keteladanan Rasulullah saw. yang baik hanya dalam masalah ibadah ritual atau akhlaknya saja.
Dengan demikian, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak.
Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem kapitalisme; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar